Konsistensi dan Relevansi Gerakan Mahasiswa

Oleh Doni Gazali

Dari dulu gerakan mahasiswa mengiringi proses terjadinya perubahan-perubahan dalam setiap negara tidak lepas juga dalam sejarah yang ada di Indonesia. Mahasiswa yang notabene adalah agen perubahan serta berfungsi sebagai kontrol sosial tersebut memberikan kontribusi nyata dalam sejarah kita. Setelah terjadinya reformasi pada tahun 1998 lalu, ada banyak pergeseran dalam nilai gerakan mahasiswa yang terwujud. Dimulai dengan terbentuknya opini pada gerakan mahasiswa yang mulai ditunggangi oleh para elit politik dan elemen lainnya. Disitu menunjukkan inkonsistensi gerakan mahasiswa dalam berjuang menuntut hak-haknya yang sehingga tidak bisa terpenuhi. Seakan-akan gerakan tersebut menjual produk agar dapat dibeli oleh konsumen dan meraup keuntungan pribadi. Layaknya pedagang. Tetapi dalam hal ini mahasiswa yang bergerak menyuarakan aspirasinya tersebut seharusnya tidak bisa memperjual-belikan apapun yang dapat mempengaruhi nilai-nilai gerakan mahasiswa jadi tercoreng. Sehingga dapat mempertahankan nilai-nilai untuk kepercayaan umum terhadap gerakan mahasiswa. Ketika Hariman Siregar memimpin aksi dengan isu Cabut Mandat SBY-JK, banyak elemen yang ikut gabung dalam aksi tersebut. Baik itu masyarakat dan mahasiswa. Terlepas pada apa yang harus diperhatikan dengan jelas oleh mahasiswa sebagai aktivis gerakan adalah, ada di posisi manakah gerakan mahasiswa pada aksi 15 Januari 2007 yang lalu? Apakah benar-benar mengkritisi pemerintahan SBY-JK atas dasar pesan yang diterima dari masyarakat? Atau memang bergerak atas dasar adanya konsolidasi yang dikaitkan dengan para tokoh-tokoh Malari tersebut terutama Hariman Siregar berikut dengan kepentingan didalamnya? Ini merupakan tendangan yang cukup kuat bagi nilai-nilai gerakan mahasiswa yang selama ini mereka perjuangkan untuk adanya pelurusan opini bahwa gerakan mahasiswa sudah tidak ditunggangi oleh siapapun. Fakta membuktikan terbalik! Mahasiswa menunjukkan seberapa murahnya mereka sehingga mudah untuk disiasati. Walaupun ada perbedaan disaat teknis lapangan yang membentukkan sebuah pola yang beda dalam aksi tersebut. Semua dapat mengetahui dengan baik bahwa sebenarnya kenapa aksi Cabut Mandat itu bisa terbentuk? Karena memang para elit bangsa ini sedang gonjang-ganjing tak terlepas dari budaya feodalnya yang berkeinginan untuk diperhatikan lebih oleh Presiden SBY. Sepakat ketika pemerintah mengutarakan kepada mereka agar dapat membuktikan keberhasilan dan kegagalan pemerintahan SBY-JK ini pada pesta demokrasi dimulai lagi (PEMILU) karena biar bagaimanapun konstruksi demokratisasi di Indonesia medianya hanyalah pada saat pesta tersebut, dimana semua rakyat bisa menentukkan siapa pemimpin yang pantas untuk mendapat mahkota dan kekuasaan di Indonesia. Seperti yang sudah diungkapkan oleh juru bicara Kepresidenan Andi Malarangeng bahwa aksi tersebut adalah aksi-aksi yang seperti biasanya terjadi di depan Istana Negara, oleh karena itu hasil yang dicapai oleh adanya aksi Cabut Mandat SBY-JK tersebut bagaikan selentingan aspirasi yang mewarnai demokratisasi di Indonesia dalam masa kepemimpinan SBY-JK. Ketika para pendemo menilai adanya kelalaian dalam masa dua tahun pemerintahan sekarang lalu pemerintah menjawab dengan ukuran waktu periode masa kepemimpinan, maka pesan-pesan tersebut tidak akan bisa tercapai dengan pembentukan opini ke masyarakat. Karena kita dapat mengetahui, apabila memang presiden SBY tidak mempunyai masa lapangan akan tetapi presiden SBY terlihat seorang figure yang mempunyai banyak fans. Ini yang sangat menarik dalam kharismatik presiden SBY sekarang. Apakah mampu massa konkrit dilapangan dapat mengalahkan semua fans yang mengidolakan presiden SBY ini? Apalagi dengan melihat kondisi hedonitas sekarang. Maka siapakah yang akan ditertawakan? Cukup diamati saja apabila kekolotan dipelihara dengan baik maka kehancuran bangsa ada didepan mata. Sekaligus ini membuat tradisi yang tidak baik sehingga tidak membentuk kredibilitas yang tinggi untuk diwariskan kepada generasi-generasi penerus. Mengingat bahwa Indonesia merupakan Negara yang multikultural, majemuk, beraneka ragam dan lainnya. Jadi tidak bisa apabila sesuatu yang usang itu digunakan kembali di masa sekarang ini. Intinya adalah dulu yaa dulu, sekarang yaa sekarang dan jangan disamakan dong. Daripada kita (mahasiswa) turun ke jalan menuntut hak-hak orang kecil yang faktanya mahasiswa jarang bisa bersekutu dengan rakyat tersebut lebih baik kita aksi turun ke jalan menuntut subyektif kita yang meliputi keinginan orang lain. Contohnya seperti kita mengkritisi pemerintah yang tidak bisa untuk mengakomodir fantasi anak-anak jalanan yang putus sekolah untuk dapat merasakan fantasi yang diinginkan, atau kita aksi menuntut hak-hak kita sebagai mahasiswa dan pemuda kepada pemerintah untuk dibuatkan tempat berpacaran. Pemerintah tidak pernah memperhatikan hal-hal lain tersebut padahal hal itu cukup mudah dilakukan dan kita pun terkadang jadi lupa hak-hak yang tertinggal tersebut. Bukan berarti kita berpikir untuk individualistis akan tetapi mencari manfaat dari individualisasi untuk membentuk sebuah gerakan. Jadi yang bisa menilai konsistensi dan relevansi dari gerakan mahasiswa adalah masyarakat non konstitusional dan para mahasiswa sendiri. Ketika terjadinya pergeseran nilai gerakan ini maka kita harus bisa membuat formulasi untuk bergerak dan memfungsikan kita seperti sejarah-sejarah yang sudah mewarnai gerakan mahasiswa di Indonesia. *Sepenggal kisah lama

1 comment:

  1. -gerakan mahasiswa harus tetap dijaga agar tetap sebgai gerakan moral dan bukan gerakan brutal.Mereka kan calon pemimpin juga kelak.
    -salam

    ReplyDelete

Yang Berkunjung, Wajib Komentar

Blogger Template by Clairvo