FIRASAT MAMA (Sebuah Cerpen)

Oleh La Bidu Taking

Ketika cinta jatuh di hatimu, ke mana kamu akan mengadu? Dulu jawabanku hanya satu. Aku akan berlabuh di pelukan mama, membagi getar-getar bahagia yang terkadang membuat gugup. Getar cinta!

Abidzar! Cowok yang pernah hilang dari mataku. Tapi di hatiku tidak! Kini hadir lagi. Berdiri di depanku, mengulurkan tangan untukku. Dan ketika aku sambut uluran itu, suara seraknya melantunkan kata maaf diikuti tatapan mata yang menyiratkan sesal, karena telah meninggalkanku kemarin. Kata hatiku percaya, maaf dan sesal yang dilantunkan Abid itu tulus tapi haruskah kepercayaan itu membuatku kembali ke pelukannya? Kesalahan Abid di masa lalu bukan kesalahan kecil. Dia menghilang begitu saja dari kehidupanku, setelah sebelumnya menyakitiku dengan menduakanku.

Dulu saat Abid pertama datang mengatasnamakan cintanya untukku. Pelarianku adalah mama. Mama seorang! Karena untuk berbagi ke papa adalah mustahil. Hingga usiaku menginjak delapan belas. Aku belum pernah melihat langsung wajah papa. Hanya dalam photo pernikahannya dengan mama!

Saat aku masih kecil, pertanyaanku tentang papa selalu mendapat jawaban yang mengenaskan. Papa mati karena kecelakaan. Dan air mata mama pasti mengalir deras mengiringi kisah itu. Tapi di usiaku yang ke tujuh belas, tahun kemarin! Bertepatan dengan kedatangan Abid untuk kukenalkan pada mama. Mama bercerita lain lagi tentang papa.

"Ini adalah kisah yang sebenarnya. Dan aku pikir kamu memang harus tahu kebenaran itu. Firasatku mengatakan, papa kamu masih hidup. Cuma aku tak tahu dia sekarang di mana," ucap mama saat itu. Masih lancar, belum ada air mata yang menyendatkan kalimatnya.

"Lalu kenapa nggak pernah menemui mama." tanyaku langsung.

"Eyang dari papamu tak menginginkan itu. Mama terlahir dari keluarga yang berkubang kemiskinan. Eyangmu yang telah mengalirkan darah biru di kehidupan papa, tak bisa menerima kehadiran mama meski kami telah membuktikan cinta kami dengan pernikahan yang sah setelah lari dari rumah."

Kurasakan hatiku seperti teriris. Sakit yang kurasakan begitu perih. Lebih perih ketika mama bercerita bahwa papa meninggal dalam kecelakaan.

"Lebih sakit lagi, papamu diseret dari kehidupanku. Bahkan papamu yang memang tak berpendirian tunduk untuk dinikahkan lagi tanpa harus berpikir bagaimana nasibmu yang masih dalam kandungan."

Air mata mama mengalir lagi. Hingga sepatah kata pun untuk Abid, tak ada! Hingga kemudian mama beranjak ke kamar. Meninggalkan aku dan Abid. Aku tak tahu apa yang ada di benak Abid malam itu. Dia banyak diam, mungkinkah dia kecewa dengan keadaan keluargaku? Entahlah. Yang jelas sejak saat itu Abid berubah drastis. Bahkan berkesan sengaja menggandeng cewek lain di depanku. Sakit sekali!

Dan kini, saat sisa cinta untuk Abid masih selalu meresahkan tidurku, menyiksa hatiku. Abid datang lagi. Jika aku harus mengikuti kata hatiku, itu berarti aku akan menerima kehadiran Abid lagi. Aku masih mencintainya! Tapi, mungkinkah mama menyetujuinya? Mama tahu Abid telah melukaiku. Bahkan pernah berkata, sorot mata Abid mengingatkan dia pada papa dan bukan tak mungkin Abid itu adalah cowok yang tak punya pendirian. Tidak bertanggung jawab seperti papa. Dan firasat mama itu terbukti dengan kenyataan perih yang Abid sodorkan untukku.

Untuk menerima Abid kembali tanpa persetujuan mama rasanya tak mungkin juga aku lakukan. Mama satu-satunya yang menjadi teman curhatku, dan itu sejak aku masih kecil. Mungkin karena aku tak punya saudara dan juga papa yang membuatku bisa menyisihkan sebagian permasalahanku, tanpa harus lari ke mama.

"Ma!" ucapku menyebut namanya. Meski belum berani untuk mengungkapkan keresahanku.

"Aku tahu kamu punya masalah. Firasatku mengatakan begitu. Akhir-akhir ini kamu menyembunyikannya untukku. Atau mama tak bisa lagi dianggap sebagai teman curhat?" ungkap mama membuatku semakin tak tahu harus mulai dari mana untuk bicara tentang Abid.

"Kamu jatuh cinta lagi?" lanjut mama, yang kubalas dengan anggukan.

"Itu tak salah," ungkapnya lagi. "Tapi kamu harus hati-hati. Jangan sampai kamu harus bertemu lagi dengan cowok bejat seperti Abid. Bukankah dari pertama kamu kenalkan aku pada Abid, aku sudah beranggapan lain tentangnya. Tapi kamu terus membelanya"

Cowok bejat! Abid telah mendapat julukan seperti itu dari mama. Tapi kenapa aku tak bisa mencap Abid seperti itu? Bahkan hatiku terbuka lebar untuk menerima kehadiranya lagi.

"Tapi cinta yang kurasakan kini, Mam! Masih cinta untuk Abid!" ungkapku tanpa berani menatap mama.

Mama langsung berbalik ke arahku. Tapi sedikit pun aku tak bisa berbalik untuk menatapnya. Aku tahu mama kaget dengan kalimatku itu.

"Jika kamu masih mau merasakan luka yang lebih perih dari yang pernah kamu rasakan. Silakan kamu menerimanya kembali."

"Mama jangan menganggap semua lelaki di dunia ini sama seperti papa. Tahunya hanya membuat luka, mengecewakan!"

"Nia, aku berani cerita jujur tentang papamu yang sebenarnya tidak meninggal dalam kecelakaan dan kemungkinan masih hidup karena melihat sorot mata dan tingkah laku Abid. Dia mengingatkanku pada papamu. Dan firasatku mengatakan jika dia tak ada bedanya dengan papamu. Cowok yang tidak bertanggung jawab!" tegas mama.

Aku terdiam. Seperti yang kuduga, mama tidak akan pernah menyutujui hubunganku lagi dengan Abid. Dan itu berarti, anganku untuk memiliki Abid kembali harus pupus hingga di sini. Aku tak ingin mengecewakan mama dengan tindakan yang tidak disetujuinya. Aku tak ingin melukainya dengan kebahagiaanku. Bagaimana pun mama satu-satunya yang ada dalam kehidupanku selama ini.

Minggu pagi. Aku jalan-jalan ke rumah Abid. Dia yang ngajak, lagi pula aku tak mungkin mengajak Abid ke rumah. Mama pasti tak setuju Abid berkunjung ke rumah

Rumah Abid cukup megah. Tapi berkesan sepi, hanya seorang tukang kebun yang menerima kehadiranku. Itu pun aku harus ditinggal di teras depan saat dia masuk memanggil Abid. Hampir sepuluh menit aku menunggu baru kemudian Abid muncul dengan wajah segarnya. Dia baru saja mandi.

Abid mendesah panjang. Aku tahu, dia sedang berpikir, merangkai kalimat yang tepat untuk meminta jawabanku setelah kemarin dia melantunkan sesal. Aku ikut gelisah, tak tahu harus ngomong apa. Padahal seharusnya aku yang angkat bicara duluan karena jawabanku telah pasti. Aku tak bisa menerima cintanya lagi! Tapi alasanku apa? Aku tak mungkin membawa nama mama dalam persoalan ini meskipun jawaban tentang pertanyaan Abid kudapat dari mama. Atau apa aku harus menolak cinta kedua Abid dengan alasan perbedaan usia antara kami?

Abid memang lebih muda dariku, tapi tidak sampai beda setahun! Dan jika itu yang jadi alasanku, mengapa aku tidak menyodorkannya saat pertama Abid datang mengungkapkan cintanya dulu.

"Kirain kamu nggak datang," ucapnya juga akhirnya setelah menyadari kami terdiam beberapa menit di teras. "Sori aku di kamar mandi saat kamu datang tadi. Masuk, yuk!"

Kuikuti langkahnya. Tapi sungguh tak kumengerti saat hendak kurapatkan duduk di kursi ruang tamu. Tiba-tiba Abid meraih pergelanganku, mengajakku untuk mengikuti langkahnya lebih ke dalam lagi. Tapi bagaimana mungkin itu kulakukan, aku kan baru berkunjung ke rumah ini. Saat kutepis pegangan Abid, dia tambah mengencangkan genggaman. Lenganku sampai sakit.

Aku teringat mama. Firasat mama tentang Abid yang bejat benar adanya.

"Apa-apan sih!" bentakku meronta hendak melepaskan cengkeraman tangannya.

Dia tak bergeming. Hanya berbalik menatapku dingin. Setelah itu, dia menarik lenganku lagi. Dadaku berdebar kencang. Baru kusesali, mengapa aku tak mendengarkan nasehat mama untuk menjauhi Abid. Firasat mama memang tak pernah salah. Lalu apa yang harus kuperbuat sekarang? Rumah megah ini sepertinya hanya dihuni oleh Abid dan aku. Teriakku hanya percuma.

Di ruang tengah. Abid membuka sebuah kamar lalu menyeretku masuk ke dalamnya. Aku ingin teriak. Meronta! Tapi pemandangan yang kudapatkan di dalam sana membuatku terpaksa mengurungkan niat itu. Di atas spring bed sana terbaring seorang lelaki tua. Kumis dan jenggot tumbuh liar di wajahnya, mata cekung dan tubuh kurusnya berjuntaian kabel-kabel infus. Abid melepaskan cengkeramannya di lenganku. Menghampiri lelaki itu dan entah kenapa, aku mengikuti langkahnya.

Dari matanya tersorot tatapan yang seolah pernah aku dapatkan sebelumnya. dan kalau pun tatapan itu tiada beda dengan tatapan Abid tapi hati kecilku masih yakin, jika aku pernah mendapatkan tatapan itu sebelumnya. Lelaki itu menangis! Juga Abid. Mungkinkah Abid memperkenalkan aku pada papanya sebagai orang yang akan menemani hidup Abid, jika kelak papanya meninggal?

"Nia, dia papaku! Dan harus kamu tahu juga jika lelaki tua ini adalah papamu."

Seperti sebuah petir menggelegar. Tapi hanya terdengar dalam kamar ini karena cuaca sedang terik di luar sana.

Lelaki tua itu meraih tanganku bahkan menciumnya. Dia mengangguk kemudian sebagai sebuah isyarat agar aku memeluk tubuhnya. Tapi itu tak aku lakukan. Kalau pun dia adalah papaku, bukankah kemarin dia telah menelantarkan hidupku. Melukai mama! Aku ingin berlari keluar, tapi aku tak tahan juga melihat tatapannya yang begitu bahagia seakan melepas semua kerinduannya untukku.

"Sebulan sudah dia mengering di sini," ungkap Abid menangis.

"Apa peduliku," ucapku membuat keduanya tersentak. Aku berlari keluar. Tapi saat di luar kamar Abid kembali menggenggam tanganku.

"Dia papamu, Nia! Kamu harus percaya itu."

"Jika dia adalah papaku, kenapa dia tak pernah mau tahu bagaimana nasibku."

Abid menatapku tajam. Kedua rahangnya terkatup keras seakan menahan gemuruh emosi yang kini menderanya. Dan memang, semenit kemudian tanpa pernah kuduga dia mendaratkan tamparan kerasnya ke wajahku. Perih sekali!

"Nia, karena kamu dan mamamu. Aku hidup dalam broken home. Papa tak pernah mencintai mamaku. Dia bahkan mengusir mamaku dari rumah ini. Bertahun-tahun dia mencari kamu dan mamamu, tanpa pernah mau tahu ke mana mamaku hidup, setelah dia usir dari rumah ini. Aku menderita karena kamu, Nia! Dan saat sebuah takdir mempertemukan kita dan mendengar semua cerita mamamu. Aku yakin kamulah yang selama ini menjadi bayang-bayang dalam kehidupanku. Dan jangan salahkan jika kemarin aku membalas sakit hatiku dengan melukaimu. Tapi melihat papa yang sakit-sakitan, aku tak tega untuk tidak menemuimu. Dia papamu juga!"

Aku terdiam. Aku ingin berbalik kembali melihat lelaki tua di kamar yang ternyata adalah papaku. Tapi bayangan air mata mama setiap bercerita tentang papa, tak mengijinkan aku untuk itu. Aku bergegas pergi.

"Nia, kamu tega melakukan ini?" ucap Abid menghalang langkahku.

Aku tetap melangkah.

Terus melangkah hingga akhirnya kudapatkan mama di rumah sedang duduk sendiri. Aku yakin, dia berpikir tentangku. Kutata rapi hatiku. Aku tak ingin mama tahu aku habis menemui Abid, apalagi sampai tahu kalau Abid adalah anak papa juga. Aku tak ingin mama terluka lagi.

"Mama melamun, ya?" godaku.

Mama masih diam seolah tak menyaksikan kehadiranku. Bahkan sedetik kemudian kudapatkan air matanya bergulir di pipi. Mungkinkah mama punya firasat kalau aku habis menemui Abid? Aku lebih baik jujur sebelum mama menginterogasiku.

"Maafkan aku, Ma! Aku menemui Abid hanya untuk mengatakan bahwa aku tak bisa menerima kehadirannya lag," ucapku meraba pundaknya.

"Mama yang salah. Wajah polos Abid mengingatkanku pada papamu. Dan luka masa lalu itu telah membuatku membencinya. Harusnya Abid kujadikan tempat untuk melepaskan rinduku pada papa."

"Mama rindu pada papa?" tanyaku antusias.

Mama mengangguk. Aku langsung menghambur ke pelukan mama. Tangisku di rumah Abid kini terulang lagi.

"Mama keliru telah membenci papamu, padahal aku tahu dia mencintaiku. Tapi eyangmu yang tak mengijinkan kami untuk bersatu."

Kulepaskan pelukanku pada mama. Ketika benakku berpikir untuk mengajak mama menemui papa tiba-tiba ponselku berdering. Dan itu dari Abid.

"Papa sekarat. Yah, papa! Kamu mau mengakuinya atau nggak, tapi itulah kenyataan. Dia selalu mengingau menyebut namamu."

Aku tak bisa bicara apa-apa. Air mataku luruh membayangkan wajah lelaki tua yang baru saja aku sakiti hatinya.

"Dari siapa?" tanya mama melihat diamku.

"Abid."

"Mendengar nama Abid kali ini seperti memberi firasat pada mama, papamu sekarang sedang tersiksa bahkan mungkin telah meninggal."

Aku tersentak. Tiba-tiba saja aku tak ingin kehilangan lelaki tua itu. Papaku! Cepat kutarik lengan mama dan mengajaknya ke rumah Abid, meski bibirku belum sanggup bicara tentang papa pada mama. Aku ingin mama tahu dan melihat sendiri apa yang akan terjadi di sana. Dan semoga saja firasat mama kali ini meleset.

0 komentar:

Yang Berkunjung, Wajib Komentar

Blogger Template by Clairvo