Hikayat Abu Nawas dan Lelaki Kikir
Syahdan,disuatu masa hidup seorang laki2 yang punya sifat kikir (pelit).ia mempunyai sebuah rumah yang cukup besar.didalam rumah itu dia tinggal bersama seorang istri dan 3 orang anaknya yang masih kecil2.laki2 ini merasa rumahnya sudah sangat sempit dengan keberadaannya dan keluarganya.namun,untuk memperluas rumahnya,sang lelaki merasa sayang untuk mengeluarkan uang.ia putar otak bagaimana caranya agar ia bisa memperluas rumahnya tanpa mengeluarkan banyak.akhirnya,ia mendatangi abunawas,seorang cerdik dikampungnya.pergilah ia menuju rumah abu nawas. si lelaki : "salam hai abunawas,semoga engkau selamat sejahtera." abu nawas : "salam juga untukmu hai orang asing,ada apa gerangan kamu mendatangi kediamanku yang reot ini ?" si lelaki lalu menceritakan masalah yang ia hadapi.abunawas mendengar dengan seksama.setelah si lelaki selesai bercerita,abunawas tampak tepekur sesaat,tersenyum,lalu ia berkata : "hai fulan,jika kamu menghendaki kediaman yang lebih luas,belilah sepasang ayam,jantan dan betina,lalu buatkan kandang didalam rumahmu.3 hari lagi kau lapor padaku bagaimana keadaan rumahmu." si lelaki bingung,apa hubungannya ayam dengan luas rumah,tapi ia tak membantah.sepulang dari rumah abunawas,ia membeli sepasang ayam,lalu membuatkan kandang untuk ayamnya didalam rumah. 3 hari kemudian,ia kembali kekediaman abunawas,dengan wajah berkerut. abunawas : "bagaimana fulan,sudah bertambah luaskah kediamanmu?" si lelaki : "boro boro ya abu.apa kamu yakin idemu ini tidak salah?rumahku tambah kacau dengan adanya kedua ekor ayam itu.mereka membuat keributan dan kotorannya berbau tak sedap." abu nawas : "( sambil tersenyum ) kalau begitu tambahkan sepasang bebek dan buatkan kandang didalam rumahmu.lalu kembali 3 hari lagi." silelaki terperanjat.kemarin ayam sekarang bebek,memangnya rumahnya peternakan?.atau sicerdik abunawas ini sedang kumat jahilnya?namun seperti pertama kali,ia tak berani membantah,karena ingat reputasi abunawas yang selalu berhasil memecahkan berbagai masalah.pergilah ia ke pasar,dibelinya sepasang bebek,lalu dibuatkannya kandang didalam rumahnya. setelah 3 hari ia kembali menemuai abunawas. abu nawas : "bagaimana fulan,kediamanmu sedah mulai terasa luas atau belum ?" si lelaki : "aduh abu,ampun,jangan kau menegerjai aku.saat ini adalah saat paling parah selama aku tinggal dirumah itu.rumahku sekarang sangat mirip pasar unggas,sempit,padat,dan baunya bukan main." abunawas : "waah,bagus kalau begitu.tambahkan seekor kambing lagi.buatkan ia kandang didalam rumahmu juga.lalu kembali kesini 3 hari lagi." si lelaki : "apa kau sudah gila abu ?kemarin ayam,bebek dan sekarang kambing.apa tidak ada cara lain yang lebih normal?" abunawas : "lakukan saja,jangan membantah." lelaki itu tertunduk lesu,bagaimanapun juga yang memberi ide adalah abunawas,sicerdik pandai yang tersohor.maka dengan pasrah pergilah ia ke pasar dan membeli seekor kambing,lalu ia membuatkan kandang didalam rumahnya. 3 hari kemudian dia kembali menemui abunawas abunawas : "bagaimana fulan ? sudah membesarkah kediamanmu ?" si lelaki : "rumahku sekarang benar2 sudah jadi neraka.istriku mengomel sepanjang hari,anak2 menangis, semua hewan2 berkotek dan mengembik,bau,panas,sumpek,betul2 parah ya abu.tolong aku abu,jangan suruh aku beli sapi dan mengandangkannya dirumahku,aku tak sanggup ya abu." abu nawas : "baiklah,kalau begitu,pulanglah kamu,lalu juallah kambingmu kepasar,besok kau kembali untuk menceritakan keadaan rumahmu." si lelaki pulang sambil bertanya2 dalam hatinya,kemarin disuruh beli,sekarang disuruh jual,apa maunya si abunawas.namun,ia tetap menjual kambingnya kepasar.keesokan harinya ia kembali kerumah abunawas. abu nawas : "bagaimana kondisi rumahmu hari ini ?" si lelaki :"yah,lumayan lah abu,paling tidak bau dari kambing dan suara embikannya yang berisik sudah tak kudengar lagi." abu nawas : "kalau begitu juallah bebek2mu hari ini,besok kau kembali kemari" si lelaki pulang kerumahnya dan menjual bebek2nya kepasar.esok harinya ia kembali kerumah abunawas abunawas : "jadi,bagaimana kondisi rumahmu hari ini?" si lelaki : "syukurlah abu,dengan perginya bebek2 itu,rumahku jadi jauh lebih tenang dan tidak terlalu sumpek dan bau lagi.anak2ku juga sudah mulai berhenti menangis." abunawas.bagus."kini juallah ayam2mu kepasar dan kembali besok " si lelaki pulang dan menjual ayam2nya kepasar.keesokan harinya ia kembali dengan wajah yang berseri2 kerumah abunawas abunawas : "kulihat wajahmu cerah hai fulan,bagaimana kondisi rumahmu saat ini?" si lelaki :"alhamdulillah ya abu,sekarang rasanya rumahku sangat lega karena ayam dan kandangnya sudah tidak ada.kini istriku sudah tidak marah2 lagi,anak2ku juga sudah tidak rewel." abunawas : "(sambil tersenyum) nah nah,kau lihat kan,sekarang rumahmu sudah menjadi luas padahal kau tidak menambah bangunan apapun atau memperluas tanah banguanmu.sesungguhnya rumahmu itu cukup luas,hanya hatimu sempit sehingga kau tak melihat betapa luasnya rumahmu.mulai sekarang kau harus lebih banyak bersyukur karena masih banyak orang yang rumahnya lebih sempit darimu.sekarang pulanglah kamu,dan atur rumah tanggamu,dan banyak2lah bersyukur atas apa yang dirizkikan tuhan padamu,dan jangan banyak mengeluh." silelaki pun termenung sadar atas segala kekeliruannya,ia terpana akan kecendikiaan sang tokoh dan mengucap terima kasih pada abunawas...
Kembalinya Anak Cacat
“Huuu….uuura!” Teriakan gembira dari seorang Ibu yang menerima telegram dari anaknya yang telah ber-tahun2 menghilang. Apalagi ia adalah anak satu2nya. Maklumlah anak tsb pergi ditugaskan perang ke
Vietnam pada 4 th yang lampau dan sejak 3 tahun yang terakhir, orang tuanya tidak pernah menerima kabar lagi dari putera tunggalnya tsb. Sehingga diduga bahwa anaknya gugur dimedan perang. Anda bisa membayangkan betapa bahagianya perasaan Ibu tsb. Dalam telegram tsb tercantum bahwa anaknya akan pulang besok.
Esok harinya telah disiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan putera tunggal kesayangannya, bahkan pada malam harinya akan diadakan pesta khusus untuk dia, dimana seluruh anggota keluarga maupun rekan2 bisnis dari suaminya diundang semua. Maklumlah suaminya adalah Direktur Bank Besar yang terkenal diseluruh ibukota. Siang harinya si Ibu menerima telepon dari anaknya yang sudah berada
di airport.
Si Anak: “Bu bolehkah saya membawa kawan baik saya?” Ibu: “Oh sudah tentu, rumah kita cuma besar dan kamarpun cukup banyak, bawa saja, jangan segan2 bawalah!” Si Anak: “Tetapi kawan saya adalah seorang cacad, karena korban perang di Vietnam?”
Ibu: “……oooh tidak jadi masalah, bolehkah saya tahu, bagian mana yang cacad? ” - nada suaranya sudah agak menurun
Si Anak: “Ia kehilangan tangan kanan dan kedua kakinya!” Si Ibu dengan nada agak terpaksa, karena si Ibu tidak mau mengecewakan anaknya: “Asal hanya untuk beberapa hari saja, saya kira
tidak jadi masalah?” Si Anak: “…tetapi masih ada satu hal lagi yang harus saya ceritakan sama Ibu, kawan saya itu wajahnya juga turut rusak begitu juga kulitnya, karena sebagian besar hangus terbakar, maklumlah pada saat ia mau menolong kawannya ia menginjak ranjau, sehingga bukan tangan dan kakinya saja yang hancur melainkan seluruh wajah dan tubuhnya turut terbakar!”
Si Ibu dengan nada kecewa dan kesal: “Na…ak lain kali saja kawanmu itu diundang kerumah kita, untuk sementara suruh saja ia tinggal di hotel, kalau perlu biar saya yang bayar nanti biaya penginapannya!” Si Anak: “…tetap ia adalah kawan baik saya Bu, saya tidak ingin pisah dari dia!” Si Ibu: “Cobalah renungkan olehmu nak, ayah kamu adalah seorang konglomerat yang ternama dan kita sering kedatangan tamu para pejabat tinggi maupun orang2 penting yang berkunjung kerumah kita, apalagi nanti malam kita akan mengadakan perjamuan malam bahkan akan dihadiri oleh seorang menteri, apa kata mereka apabila mereka nanti melihat tubuh yang cacad dan wajah yang rusak. Bagaimana pandangan umum dan bagaimana lingkungan bisa menerima kita nanti? Apakah tidak akan menurunkan martabat kita bahkan jangan2 nanti bisa merusak citra binis usaha dari ayahmu nanti.”
Tanpa ada jawaban lebih lanjut dari anaknya telepon diputuskan dan ditutup. Orang tua dari kedua anak tsb maupun para tamu menunggu hingga jauh malam ternyata anak tsb tidak pulang, ibunya mengira anaknya marah, karena tersinggung, disebabkan temannya tidak boleh datang berkunjung kerumah mereka.
Jam tiga subuh pagi, mereka mendapat telepon dari rumah sakit, agar mereka segera datang kesana, karena harus mengidetifitaskan mayat dari orang yang bunuh diri. Mayat dari seorang pemuda bekas tentara Vietnam, yang telah kehilangan tangan dan kedua kakinya dan wajahnyapun telah rusak karena kebakar. Tadinya mereka mengira bahwa itu adalah tubuh dari teman anaknya, tetapi kenyataannya pemuda tsb
adalah anaknya sendiri! Untuk membela nama dan status akhirnya mereka kehilangan putera tunggalnya!
Vietnam pada 4 th yang lampau dan sejak 3 tahun yang terakhir, orang tuanya tidak pernah menerima kabar lagi dari putera tunggalnya tsb. Sehingga diduga bahwa anaknya gugur dimedan perang. Anda bisa membayangkan betapa bahagianya perasaan Ibu tsb. Dalam telegram tsb tercantum bahwa anaknya akan pulang besok.
Esok harinya telah disiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan putera tunggal kesayangannya, bahkan pada malam harinya akan diadakan pesta khusus untuk dia, dimana seluruh anggota keluarga maupun rekan2 bisnis dari suaminya diundang semua. Maklumlah suaminya adalah Direktur Bank Besar yang terkenal diseluruh ibukota. Siang harinya si Ibu menerima telepon dari anaknya yang sudah berada
di airport.
Si Anak: “Bu bolehkah saya membawa kawan baik saya?” Ibu: “Oh sudah tentu, rumah kita cuma besar dan kamarpun cukup banyak, bawa saja, jangan segan2 bawalah!” Si Anak: “Tetapi kawan saya adalah seorang cacad, karena korban perang di Vietnam?”
Ibu: “……oooh tidak jadi masalah, bolehkah saya tahu, bagian mana yang cacad? ” - nada suaranya sudah agak menurun
Si Anak: “Ia kehilangan tangan kanan dan kedua kakinya!” Si Ibu dengan nada agak terpaksa, karena si Ibu tidak mau mengecewakan anaknya: “Asal hanya untuk beberapa hari saja, saya kira
tidak jadi masalah?” Si Anak: “…tetapi masih ada satu hal lagi yang harus saya ceritakan sama Ibu, kawan saya itu wajahnya juga turut rusak begitu juga kulitnya, karena sebagian besar hangus terbakar, maklumlah pada saat ia mau menolong kawannya ia menginjak ranjau, sehingga bukan tangan dan kakinya saja yang hancur melainkan seluruh wajah dan tubuhnya turut terbakar!”
Si Ibu dengan nada kecewa dan kesal: “Na…ak lain kali saja kawanmu itu diundang kerumah kita, untuk sementara suruh saja ia tinggal di hotel, kalau perlu biar saya yang bayar nanti biaya penginapannya!” Si Anak: “…tetap ia adalah kawan baik saya Bu, saya tidak ingin pisah dari dia!” Si Ibu: “Cobalah renungkan olehmu nak, ayah kamu adalah seorang konglomerat yang ternama dan kita sering kedatangan tamu para pejabat tinggi maupun orang2 penting yang berkunjung kerumah kita, apalagi nanti malam kita akan mengadakan perjamuan malam bahkan akan dihadiri oleh seorang menteri, apa kata mereka apabila mereka nanti melihat tubuh yang cacad dan wajah yang rusak. Bagaimana pandangan umum dan bagaimana lingkungan bisa menerima kita nanti? Apakah tidak akan menurunkan martabat kita bahkan jangan2 nanti bisa merusak citra binis usaha dari ayahmu nanti.”
Tanpa ada jawaban lebih lanjut dari anaknya telepon diputuskan dan ditutup. Orang tua dari kedua anak tsb maupun para tamu menunggu hingga jauh malam ternyata anak tsb tidak pulang, ibunya mengira anaknya marah, karena tersinggung, disebabkan temannya tidak boleh datang berkunjung kerumah mereka.
Jam tiga subuh pagi, mereka mendapat telepon dari rumah sakit, agar mereka segera datang kesana, karena harus mengidetifitaskan mayat dari orang yang bunuh diri. Mayat dari seorang pemuda bekas tentara Vietnam, yang telah kehilangan tangan dan kedua kakinya dan wajahnyapun telah rusak karena kebakar. Tadinya mereka mengira bahwa itu adalah tubuh dari teman anaknya, tetapi kenyataannya pemuda tsb
adalah anaknya sendiri! Untuk membela nama dan status akhirnya mereka kehilangan putera tunggalnya!
Pengakuan Dosa
Seorang pendeta yang biasa melayani pengakuan dosa, tiba-tiba mendapat
panggilan untuk pertemuan mendadak, karena tidak mungkin meninggalkan
pekerjaannya, si pendeta meminta tolong kepada temannya seorang rabbi untuk
menggantikan.
Si Rabbi mengatakan bahwa ia tidak tahu sedikitpun tentang pengakuan dosa.
Pendeta mengajak si Rabbi untuk ikut dengannya dan memperhatikan apa yang si
pendeta lakukan. Akhirnya mereka berada di dalam kamar pengakuan dosa.
Tidak lama kemudian masuklah orang pertama.
Orang I : Pak pendeta....saya ingin mengaku dosa
Pendeta : Apa yang telah engkau lakukan ?
Orang I : Aku telah berzina
Pendeta : Berapa Kali ?
Orang I : Tiga kali
Pendeta : Ucapkan pujian pada Bunda Maria, masukkan Rp.50.000,00 ke kotak
sumbangan dan dosamu telah diampuni
Orang I : Terima kasih... dan orang tersebut pergi
Kemudian masuk lagi orang kedua dan percakapanpun dimulai..
Orang II : Pak pendeta....saya ingin mengaku dosa
Pendeta : Apa yang telah engkau lakukan ?
Orang II : Aku telah berzina
Pendeta : Berapa Kali ?
Orang II : Tiga kali
Pendeta : Ucapkan pujian pada Bunda Maria, masukkan Rp.50.000,00 ke kotak
sumbangan dan dosamu telah diampuni
Orang II : Terima kasih...
Si Rabbi akhirnya mengerti dan memahami caranya, karena merasa yakin bahwa
si Rabbi sudah bisa melakukannya, si Pendeta pun pergi menghadiri pertemuan
penting.
Beberapa saat kemudian masuklah orang ketiga..
Orang III: Pak pendeta....saya ingin mengaku dosa
Rabbi : Apa yang telah engkau lakukan ?
Orang III: Aku telah berzina
Rabbi : Berapa Kali ?
Orang III: Satu kali
Rabbi : Lakukanlah dua kali lagi, dan kembali kesini dengan uang Rp. 50.000,00
panggilan untuk pertemuan mendadak, karena tidak mungkin meninggalkan
pekerjaannya, si pendeta meminta tolong kepada temannya seorang rabbi untuk
menggantikan.
Si Rabbi mengatakan bahwa ia tidak tahu sedikitpun tentang pengakuan dosa.
Pendeta mengajak si Rabbi untuk ikut dengannya dan memperhatikan apa yang si
pendeta lakukan. Akhirnya mereka berada di dalam kamar pengakuan dosa.
Tidak lama kemudian masuklah orang pertama.
Orang I : Pak pendeta....saya ingin mengaku dosa
Pendeta : Apa yang telah engkau lakukan ?
Orang I : Aku telah berzina
Pendeta : Berapa Kali ?
Orang I : Tiga kali
Pendeta : Ucapkan pujian pada Bunda Maria, masukkan Rp.50.000,00 ke kotak
sumbangan dan dosamu telah diampuni
Orang I : Terima kasih... dan orang tersebut pergi
Kemudian masuk lagi orang kedua dan percakapanpun dimulai..
Orang II : Pak pendeta....saya ingin mengaku dosa
Pendeta : Apa yang telah engkau lakukan ?
Orang II : Aku telah berzina
Pendeta : Berapa Kali ?
Orang II : Tiga kali
Pendeta : Ucapkan pujian pada Bunda Maria, masukkan Rp.50.000,00 ke kotak
sumbangan dan dosamu telah diampuni
Orang II : Terima kasih...
Si Rabbi akhirnya mengerti dan memahami caranya, karena merasa yakin bahwa
si Rabbi sudah bisa melakukannya, si Pendeta pun pergi menghadiri pertemuan
penting.
Beberapa saat kemudian masuklah orang ketiga..
Orang III: Pak pendeta....saya ingin mengaku dosa
Rabbi : Apa yang telah engkau lakukan ?
Orang III: Aku telah berzina
Rabbi : Berapa Kali ?
Orang III: Satu kali
Rabbi : Lakukanlah dua kali lagi, dan kembali kesini dengan uang Rp. 50.000,00
Buah Pisang yang Hilang
Buang pisang di kebun kecil kami raib diserobot pencuri. Kepada kami cuma ditinggalkan bekas-bekasnya, ceceran kotoran bekas cacahan di mana-mana. Semakin kami pandangi aneka kotoran ini semakin kami merasa terintimidasi. Mencuri ya mencuri, tetapi ya jangan sambil meledek seperti ini. Kotoran itu, seperti sengaja diacak-acak sedemikian rupa agar efek kehilangan ini lebih terasa. Maka setiap memandangi serpihan itu, yang terbayang adalah serpihan hati kami sendiri.
Tetapi yang disebut kami itu sebetulnya cukup diwakili oleh Bapak saya. Kebun sepetak itu adalah ladang kembegiraan di masa tuanya. Beliau pula yang merawat, mencintai dan memeperlakukan kebun itu sebagai teman di hari tuanya, tak terkecuali pisang yang hilang itu. Setiap detail pertumbuhan pisang ini, tidak lepas dari pengamatannya. Ketika ia sudah mulai berbunga dan menongolkan jantungnya, Bapak berkabar dengan gembira. ''Pisang di kebun kita mulai ada hasilnya,'' katanya waktu itu.
Pisang ini melulu yang ia bicarakan setiap saya berkunjung kepadanya. ''Sudah mulai muncul buahnya,'' kata Bapak. ''Kau perlu menengoknya,'' tambahnya. Saya biasanya selalu mengiyakan dan pura-pura gembira terhadap tema ini walau pikiran saya sebetulnya mengembara ke mana-mana. Ke sejumlah pekerjaan yang belum usai, ke rencana-rencana yang masih terbengkalai, ke target-target hidup yang memenuhi benak. Maka persoalan pisang itu pasti menjadi tema yang menyebalkan jika yang berbicara bukan bapak saya.
Di hari-hari berikutnya, pisang ini lagi yang menjadi tema wajib dialog kami. ''Ia telah membesar. Beberapa minggu lagi telah bisa dipotong. Tengoklah kalau ada waktu,'' katanya. Lama-lama saya penasaran juga. Toh jarak kebun itu hanya sekelebatan dari rumah, maka tak ada salahnya menengok buah yang menjadi isu terpanas dalam keluarga besar kami. Woo boleh juga. Ranum, mulus, dan penuh. Buah ini tumbuh sempurna dan dari pisang jenis kesukaan saya pula. Kini ganti sayalah yang bersemagat bicara tentang pisang ini. ''Ini panen pertama sejak kebun ini jadi milik kita,'' kata saya kepada istri. ''Nanti ajak anak-anak menengoknya,'' kata istri. ''Tengok sekarang juga!'' teriak anak-anak. Pisang ini, telah menjadi kegemparan di rumah kami. Sampai kemudian hari penentuan itu tiba….
Kami telah menghitung hari. Bapak adalah pihak yang pasti amat cermat soal ini. Mulai dari membangun rumah, menentukan hari perkimpoian saya, sampai hari kapan menegur buah pisang, tak pernah lepas dari hitung-hitungan ''hari baik'' Bapak. Tetapi mungkin karena saking telitinya menghitung, Bapak malah kalah cepat dengan pencuri yang ternyata juga memiliki hari baiknya sendiri. Pisang kebanggaan kami lenyap, dan yang tinggal hanya cacahan kotoran di sana-sini. Saya melihat Bapak yang terpukul dan amat kecewa.
Saya mengerti betul kekecewaan jenis ini. Karena ada saja pagar-pagar yang lebih baik dibiarkan kosong, padahal ia bisa dirembeti oleh tanaman anggur, tetapi batal dilakukan cuma karena jika ia berbuah, kita khawatir kalah cepat dengan pencuri. Ada seorang yang memlih menebang pohon buahnya, karena tak tahan melihat betapa pohon ini tak pernah tenteram dari gangguan. Katimbang diganggu, lebih baik sama sekali tidak menanam. Dari pada sakit hati, lebih baik semuanya tidak makan. Begitulah kejamnya kekecewaan ini, sehingga seseorang merasa lebih tidak menanam sama sekali, dan puncaknya; lebih baik sama-sama tidak makan!
Saya dan Bapak saya pasti juga tidak terlepas dari kekecewaan semacam ini. Cuma kami berdua sepakat untuk saling menyemangati, ayo tanam lagi, meskipun akhirnya cuma untuk dicuri lagi. Karena jika jika seseorang enggan membangun cuma karena takut rusak, enggan mandi cuma karena takut kotor lagi, ogah makan cuma karena pasti lapar lagi, bumi bisa berhenti berputar dan kehidupan akan macet.
Maka pisang yang hilang ini membuat kami malah menjadi semangat sekali. Belum pernah terjadi dalam hidup kami, pencuri malah menyemangati kami seperti ini!
Tetapi yang disebut kami itu sebetulnya cukup diwakili oleh Bapak saya. Kebun sepetak itu adalah ladang kembegiraan di masa tuanya. Beliau pula yang merawat, mencintai dan memeperlakukan kebun itu sebagai teman di hari tuanya, tak terkecuali pisang yang hilang itu. Setiap detail pertumbuhan pisang ini, tidak lepas dari pengamatannya. Ketika ia sudah mulai berbunga dan menongolkan jantungnya, Bapak berkabar dengan gembira. ''Pisang di kebun kita mulai ada hasilnya,'' katanya waktu itu.
Pisang ini melulu yang ia bicarakan setiap saya berkunjung kepadanya. ''Sudah mulai muncul buahnya,'' kata Bapak. ''Kau perlu menengoknya,'' tambahnya. Saya biasanya selalu mengiyakan dan pura-pura gembira terhadap tema ini walau pikiran saya sebetulnya mengembara ke mana-mana. Ke sejumlah pekerjaan yang belum usai, ke rencana-rencana yang masih terbengkalai, ke target-target hidup yang memenuhi benak. Maka persoalan pisang itu pasti menjadi tema yang menyebalkan jika yang berbicara bukan bapak saya.
Di hari-hari berikutnya, pisang ini lagi yang menjadi tema wajib dialog kami. ''Ia telah membesar. Beberapa minggu lagi telah bisa dipotong. Tengoklah kalau ada waktu,'' katanya. Lama-lama saya penasaran juga. Toh jarak kebun itu hanya sekelebatan dari rumah, maka tak ada salahnya menengok buah yang menjadi isu terpanas dalam keluarga besar kami. Woo boleh juga. Ranum, mulus, dan penuh. Buah ini tumbuh sempurna dan dari pisang jenis kesukaan saya pula. Kini ganti sayalah yang bersemagat bicara tentang pisang ini. ''Ini panen pertama sejak kebun ini jadi milik kita,'' kata saya kepada istri. ''Nanti ajak anak-anak menengoknya,'' kata istri. ''Tengok sekarang juga!'' teriak anak-anak. Pisang ini, telah menjadi kegemparan di rumah kami. Sampai kemudian hari penentuan itu tiba….
Kami telah menghitung hari. Bapak adalah pihak yang pasti amat cermat soal ini. Mulai dari membangun rumah, menentukan hari perkimpoian saya, sampai hari kapan menegur buah pisang, tak pernah lepas dari hitung-hitungan ''hari baik'' Bapak. Tetapi mungkin karena saking telitinya menghitung, Bapak malah kalah cepat dengan pencuri yang ternyata juga memiliki hari baiknya sendiri. Pisang kebanggaan kami lenyap, dan yang tinggal hanya cacahan kotoran di sana-sini. Saya melihat Bapak yang terpukul dan amat kecewa.
Saya mengerti betul kekecewaan jenis ini. Karena ada saja pagar-pagar yang lebih baik dibiarkan kosong, padahal ia bisa dirembeti oleh tanaman anggur, tetapi batal dilakukan cuma karena jika ia berbuah, kita khawatir kalah cepat dengan pencuri. Ada seorang yang memlih menebang pohon buahnya, karena tak tahan melihat betapa pohon ini tak pernah tenteram dari gangguan. Katimbang diganggu, lebih baik sama sekali tidak menanam. Dari pada sakit hati, lebih baik semuanya tidak makan. Begitulah kejamnya kekecewaan ini, sehingga seseorang merasa lebih tidak menanam sama sekali, dan puncaknya; lebih baik sama-sama tidak makan!
Saya dan Bapak saya pasti juga tidak terlepas dari kekecewaan semacam ini. Cuma kami berdua sepakat untuk saling menyemangati, ayo tanam lagi, meskipun akhirnya cuma untuk dicuri lagi. Karena jika jika seseorang enggan membangun cuma karena takut rusak, enggan mandi cuma karena takut kotor lagi, ogah makan cuma karena pasti lapar lagi, bumi bisa berhenti berputar dan kehidupan akan macet.
Maka pisang yang hilang ini membuat kami malah menjadi semangat sekali. Belum pernah terjadi dalam hidup kami, pencuri malah menyemangati kami seperti ini!
Subscribe to:
Posts (Atom)
Text widget
Blog Created by Sarman P.Sagala. Powered by Blogger.
Popular Posts
-
Nongkrong malam di Tung Tau Tung Tau begitulah namanya diambil dari nama belakang pendiri Tung Tau akoh Mr. Fung Tung Tau dan Warung ...
-
Cerita Kali ini saya akan memberikan sejumlah Pendem (Kuburan dalam Bahasa Bangka) yang berada di Tengah Kota Pangkalpinang Kerkhof, ten...
-
Konon ini adalah salah satu status Facebook dari bang'Gonzales sebelum pertandingan Final AFF Indonesia vs Malaysia .... pokoknya Gokil ...
-
Kali ini saya ingin menampilkan Pesona Tersembunyi dari Perjalanan Fotograf saya di Jembatan Baturusa yang terletak di Kecamatan Merawang,...
-
Pelayan aneh Dari taufan@satelindo.co.id : Seorang pria masuk ke sebuah rumah makan dan duduk di satu-satunya meja yang tersisa. Setelah dud...
-
Prosesi Pernikahanku Pernikahan , yah pernikahan itu impian setiap manusia yang masih sendiri. Dan bagi saya pernikahan itu telah terja...
-
Edisi Hunting Photo Memang Gak ada matinya, pada tulisan kali ini saya mencoba menampilkan hasil Photo Photo Hunting saya di Ja...
-
Sungailiat kota Berteman (Bersih Tertib dan Aman) kota kecil yang ada di pulau Bangka Ini Menawarkan kehangatan Sore dan Malam yang Indah...
-
Menjadi “sama dan serupa” dengan remaja lain merupakan keinginan dari semua remaja. Saya ingat benar bagaimana sebagai seorang remaja dalam ...
-
Our Father in Heaven (Bapa Kami yang di Surga) Our Father who art in heaven, hallowed be thy name. Thy kingdom come. Thy will be done on ea...
0 komentar:
Yang Berkunjung, Wajib Komentar